Blunder, Senjata Makan Tuan, Pemilik RSU Aliyah Ungkap Fakta HGU Kopperson Lebih Dulu Terbit

Kendari, OborSejahtera.com – Pernyataan Pemilik Rumah Sakit Umum (RSU) Aliyah, Dr. Soekirman justru berbalik arah menembak dirinya sendiri. Dalam pengakuannya, ia menyebut sertifikat hak miliknya (SHM) terbit pada tahun 1986. Ini pernyataan blunder, senjata makan tuan, karena Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atas nama Kopperson telah terbit lebih dahulu, yaitu tahun 1981.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, masa berlaku HGU ditetapkan 30 tahun pertama, dapat diperpanjang selama 25 tahun, dan diperbaharui kembali selama 30 tahun berikutnya.
Artinya, HGU Koperson yang terbit tahun 1981 masih sah secara hukum pada saat SHM milik RSU Aliyah muncul tahun 1986 — hanya berselisih lima tahun. Pertanyaannya, bagaimana mungkin SHM bisa terbit di atas lahan yang masih berstatus HGU aktif?
Ini bukan sekadar kekeliruan administratif. Ini bukti adanya anomali hukum agraria yang mengindikasikan praktik mafia tanah. Seperti yang diungkap masyarakat Tapak Kuda, siapa sebenarnya yang serakah dan melawan hukum?
Fakta bahwa SHM bisa terbit di atas lahan HGU yang belum berakhir menjadi bukti kuat bahwa ada cacat hukum dalam proses penerbitan sertifikat tersebut.
Koperson, sebagai pemegang HGU yang sah secara hukum, tetap memiliki hak keperdataan penuh atas tanah tersebut, sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 dan Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, yang menjamin hak kepemilikan sebagai hak asasi yang dilindungi Undang-Undang.
Adapun pernyataan yang menyebut HGU sudah berakhir dan tanah otomatis kembali menjadi milik negara, adalah tafsir keliru dan menyesatkan. Sebab, menurut ketentuan hukum agraria, tanah HGU yang sedang bersengketa tidak dapat diperpanjang atau dialihkan sampai sengketa tersebut selesai. Dalam kasus ini, penetapan sita eksekusi telah keluar — artinya sengketa telah selesai dan status tanah kembali sah atas nama Kopperson.
Oleh karena itu, Kopperson berhak memperpanjang HGU atau mengubah statusnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) atas dasar hukum yang kuat, bukan atas opini atau klaim sepihak.
Terlebih, Kopperson hingga hari ini masih berbadan hukum aktif dan sah di mata negara. Tidak pernah dibubarkan, tidak pernah dibatalkan. Maka, hak keperdataan atas tanah tersebut tetap melekat penuh.
Kesalahan fatal justru dilakukan oleh para pembeli tanah setelah HGU keluar pada tahun 1981 — membeli tanpa mempelajari asal-usul tanah, tanpa memeriksa status hukumnya, dan tanpa memahami struktur kepemilikan agraria.
Akibatnya, mereka kini memiliki SHM yang secara yuridis berdiri di atas tanah milik orang lain (HGU aktif) — sebuah pelanggaran nyata terhadap Pasal 385 KUHP tentang penguasaan tanah secara melawan hukum.
Kopperson menegaskan, akan mempertahankan haknya sesuai perintah Undang-Undang, serta melanjutkan upaya hukum untuk memulihkan hak dan martabat badan hukum yang telah dilecehkan.
Negara telah berbicara melalui penetapan sita eksekusi, dan setiap pihak yang melawan perintah negara harus siap menghadapi konsekuensi pidana.
Kini, masyarakat luas bisa membuka mata: siapa sebenarnya mafia tanah yang sesungguhnya dan siapa yang selama ini dijadikan kambing hitam oleh kepentingan tertentu.
Kebenaran hukum tidak bisa ditutup-tutupi oleh propaganda. Fakta sertifikat, tahun terbit, dan keputusan pengadilan adalah bukti yang berbicara sendiri.(*rn)