Menghadapi Ledakan AI, Tim Dosen UHO Lakukan Penelitian Sistem Hukum Indonesia
Antara kecukupan instrumen hukum yang ada dan kebutuhan regulasi khusus

Kendari, OborSejahtera.com – Tim Dosen Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari melakukan penelitian tentang sistem hukum Artificial Intelligence (AI) di Indonesia, antara kecukupan instrumen hukum yang ada dan kebutuhan regulasi khusus.
Penelitian dilaksanakan pada beberapa instansi terkait yang dianggap berperan besar dalam penggunaan teknologi AI baik sebagai media pendukung kinerja maupun pendukung pengambilan keputusan berbasis data. Instansi dimaksud yaitu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Prov. Sultra, Dinas Komunikasi dan Informatika (Komimfo) Prov. Sultra, Kepolisian Daerah (Polda) Sultra serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kendari, yang dilaksanakan pada 18 November 2025 – 10 Desember 2025.
Tim dosen peneliti Fakultas Hukum Univ. Halu Oleo terdiri dari St. Muslimah Suciati, SH, MH sebagai ketua dan Idris Saputra, SH, MH, Laode Muh. Saleh Saputra, SH, MH, Wahyu Aliansa, SH, MH sebagai anggota.
Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) telah membawa perubahan mendasar dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk sektor hukum. AI kini digunakan dalam pengambilan keputusan administratif, layanan publik, transaksi ekonomi digital, hingga produksi informasi. Dalam konteks tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah sistem hukum Indonesia saat ini telah memadai untuk merespons perkembangan AI, atau justru diperlukan regulasi khusus yang secara eksplisit mengaturnya?
AI sebagai Alat Bantu dan AI sebagai Teknologi Berisiko Tinggi
Dalam praktik, terdapat penggunaan AI yang berfungsi sebagai alat bantu teknologi dengan ruang lingkup terbatas. AI jenis ini bekerja berdasarkan parameter yang telah ditentukan, berada dalam kendali manusia atau badan hukum, dan digunakan untuk mendukung efisiensi kerja, seperti sistem rekomendasi, verifikasi identitas, atau layanan pelanggan otomatis. Dalam penggunaan semacam ini, AI pada dasarnya diposisikan sebagai sarana teknologi atau sebagai alat (tool).

Kepala Bidang Kekayaan Intelektual Kanwil Hukum dan HAM Sultra, Dr. Linda Fatmawati Saleh, SH, MH mengatakan bahwa saat ini di Indonesia dalam konteks Hak Kekayaan Intelektual, AI masih dianggap sebagai tools.
“Meskipun dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual saat ini sedang digodok perubahan Undang-Undang Hak Cipta (UUHC), namun perubahan UUHC diarahkan dalam hal mempertegas sistem pertanggungjawaban jika dalam menggunakan AI tidak sejalan dengan perlindungan terhadap hak privasi seseorang maupun adanya pelanggaran terhadap hak-hak kekayaan intelektual seseorang. Ketika seseorang menggunakan teknologi AI dalam menghasilkan suatu karya cipta yang mana hasilnya menyerupai karya cipta orang lain, maka pihak yang mengaplikasikan AI harus meminta izin kepada pemilik karya cipta atau pencipta,” ungkap Linda.
Di sisi lain, terdapat pula penggunaan AI yang memiliki tingkat otonomi lebih tinggi, termasuk kemampuan menghasilkan konten, menganalisis dan menyimpulkan informasi secara mandiri, serta memengaruhi persepsi dan keputusan publik. Teknologi AI dengan karakter seperti ini membawa risiko hukum yang lebih besar karena dampaknya dapat bersifat luas, cepat, dan sulit dikendalikan.
Ketika Instrumen Hukum yang Ada Masih Memadai
Untuk penggunaan AI sebagai alat bantu teknologi, instrumen hukum Indonesia pada prinsipnya masih dapat digunakan. Sistem hukum nasional hanya mengenal manusia dan badan hukum sebagai subjek hukum, sehingga AI tetap diposisikan sebagai objek atau sarana yang penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan kepada subjek hukum terkait.

Apabila penggunaan AI menimbulkan kerugian, mekanisme pertanggungjawaban hukum dapat ditempuh melalui beberapa rezim hukum. Jika terjadi permasalahan hukum, yang dianggap bertanggung jawab adalah mereka yang mengendalikan AI tersebut.
Hukum perdata dapat digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban atas dasar perbuatan melawan hukum atau wanprestasi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat diterapkan apabila AI digunakan sebagai sarana melakukan perbuatan melawan hukum di ruang digital. Selain itu, Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi memberikan dasar hukum yang jelas dalam hal pemrosesan dan penyalahgunaan data pribadi oleh sistem berbasis AI.
Permasalahan mulai muncul ketika AI digunakan dalam bentuk yang lebih otonom dan berisiko tinggi. Penggunaan AI yang mampu menghasilkan konten secara mandiri, meniru identitas seseorang, atau memengaruhi opini publik menimbulkan persoalan hukum yang mengarah pada tindak penipuan berbasis teknologi AI.
AI dengan tingkat otonomi tinggi berpotensi melanggar hak asasi manusia, seperti hak atas privasi, reputasi, dan rasa aman, serta mengancam kepentingan publik melalui penyebaran informasi palsu dan manipulatif.
Kepala Bidang Aplikasi TIK Dinas Kominfo Sultra, Sultan Y, S.Sos, mengemukakan bahwa dalam konteks penggunaan teknologi AI yang berpotensi penyalahgunaan AI yang menimbulkan kerugian, maka pemerintah harus melakukan pengawasan agar penggunaan teknologi AI tidak melanggar hak dan tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Tingkat pengawasan yang tinggi dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif penggunaan AI.

“Demikian juga perlunya instrumen yang mengatur pembatasan akses dalam menggunakan AI, misalnya penggunaan AI oleh anak di bawah umur dan pelajar yang dapat memengaruhi kemauan belajar dan tingkat kreativitas mandiri pelajar,” ucap Sultan.
Urgensi Regulasi Khusus Artificial Intelligence
AI dengan tingkat otonomi tinggi juga berpotensi melanggar hak asasi manusia tersebut menunjukkan adanya kebutuhan nyata akan regulasi khusus dalam bentuk pengaturan di dalam pasal khusus yang berkaitan dengan Artificial Intelligence. Regulasi ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan instrumen hukum yang telah ada, melainkan untuk melengkapinya dengan norma yang secara khusus dirancang untuk menghadapi karakter dan risiko teknologi AI modern.
Ditempat terpisah, Kanit 2 Subdit 5 Direktorat Reskrimsus Polda Sultra, Iptu Aspandi, SH, MH bahwa untuk kasus-kasus yang ditangani berdasarkan pengaduan pelapor, penyalahgunaan teknologi AI di Sultra marak terjadi mulai tahun 2024 dan sudah tercatat sekitar seratusan kasus penipuan berbasis AI. AI digunakan dengan cara meniru suara perempuan dan sebaliknya ada juga yang menggunakan AI dengan meniru suaru laki-laki. Kalau korbannya perempuan maka si pelaku menirukan suaru laki-laki dan sebaliknya kalau korbannya laki-laki maka pelaku menirukan suara perempuan dengan menggunakan teknologi AI.
“Maksudnya merayu, sehingga korbannya tertipu dan ujung-ujungnya memberikan uang yang diminta oleh pelaku. Dalam penanganan kasus-kasus penipuan tersebut sejauh ini masih diterapkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam menjerat pelakunya,” terang Iptu Aspandi.
Regulasi khusus AI setidaknya perlu mengatur klasifikasi penggunaan AI berdasarkan tingkat risiko, pengaturan tanggung jawab hukum yang jelas dan proporsional serta mekanisme pengawasan yang didukung oleh keahlian teknis. Pendekatan berbasis risiko ini penting agar hukum tidak menjadi penghambat inovasi, sekaligus mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi masyarakat.

Sejalan dengan hal ini, Ketua Bapemperda DPRD Kota Kendari, Dr. Ir. Samsuddin Rahim, M.Si, bahwa untuk membuat regulasi khusus AI tergantung pada dampak yang ditimbulkan dan sejauh ini dampak yang ditimbulkan masih bisa diatasi dengan instrumen yang ada, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Penutup
Dalam penelitian ini, Tim Peneliti menyimpulkan bahwa sampai saat ini sistem hukum Indonesia masih menganggap AI sebagai tool yaitu alat bantu teknologi yang memudahkan berbagai pekerjaan dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Sebagai tool maka AI berposisi sebagai obyek hukum dan bukan sebagai subyek hukum, sehingga jika terjadi penyalahgunaan teknologi AI maka yang bertanggung jawab adalah pihak yang mengaplikasikan AI tersebut.
Dalam perkembangannya teknologi AI semakin berkembang di mana AI digunakan dalam bentuk yang lebih otonom dan berisiko tinggi. Penggunaan AI yang mampu menghasilkan konten secara mandiri, meniru identitas seseorang, atau memengaruhi opini publik menimbulkan persoalan hukum yang mengarah pada tindak penipuan berbasis teknologi AI, pelanggaran hak-hak privasi orang lain, dan bahkan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Sejauh ini dari kasus penyalahgunaan teknologi AI masih menggunakan instrumen yang ada, seperti UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi, UU Hak Cipta, KUH Perdata dan peraturan perundang-undang lain. Dalam konteks penyalahgunaan AI yang semakin masif dibutuhkan pengaturan terkait pengawasan penggunaan teknologi AI oleh pemerintah dan juga pembatasan akses penggunaan teknologi AI bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu, misalnya akses pemanfaatan teknologi AI oleh pelajar.(red)



