FPIK UHO Kolaborasi Dengan Naturevolution Sosialisasi Pengembangan Kawasan Berbasis Karst

Kendari, OborSejahtera.com – Tim Naturevolution mengunjungi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari dalam rangka sosialisasi untuk mengenalkan tujuan ekspedisi Wallacea kepada para akademisi UHO,
Naturevolution sendiri merupakan salah satu NGO ternama berbasis di Perancis. Sosialiasi yang diinisiasi oleh Prof. La Ode M. Aslan ini berlangssung meriah dengan didukung penuh oleh Dekan FPIK UHO, Prof. Dr. Asriyana. Akademisi dari FPIk dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) serta mahasiswa dari kedua fakultas tersebut.
Turut hadir dan sangat antusias semua jurusan di FPIK, khususnya jurusan Budidaya Perairan, Manajemen Sumberdaya Perairan, Teknologi hasil perikanan (THP) dan Ilmu Kelautan termasuk beberapa dosen dari jurusan Antropologi FIB UHO.
Prof. Aslan, sebagai inisiator acara sosialisasi ini sekaligus sebagai dosen senior dan guru besar UHO mengucapkan terima kasih atas kesediaan Naturevolution untuk mengunjungi FPIK dengan mengenalkan dan menawarkan program untuk melibatkan pada akademisi UHO terlibat dalam ekspedisi Wallacea, termasuk kepada pimpinan FPIK UHO yang telah mendukung acara ini.

“Sosialisasi ini sejalan dengan visi misi UHO untuk meningkatkan kolaborasi internasional sekaligus menaikkan Indek Kinerja Utama (IKU) UHO termasuk FPIK. salah satunya melalui riset kolaborasi internasional,” pungkas Prof. Aslan.
Dia juga sangat getol mendukung langkah-langkah kemajuan akademik dan kerjasama internasional UHO, dan sangat berharap pasca sosialisasi ini akan dilanjutkan dengan penanda tanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Naturevolution dan FPIK UHO termasuk pada beberapa kerjasama Internasional di masa depan.
Fokus sosialisasi adalah rencana pengembangan kawasan karst sebagai kawasan lindung di Sultra. Berdasarkan definisi, Karst atau bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dicirikan dengan adanya lubang dan sungai bawah tanah serta gua. Indonesia memiliki sekitar 15,4 juta hektar atau sekitar 8 persen dari luas daratan.
“Karst memiliki banyak manfaat dan sangat penting bagi kelangsungan ekosistem. Seperti sebagai penyedia utama sumber daya air, penyerap karbon dan jasa budaya, terutama dibanyak tempat, karst memiliki situs-situs bersejarah seperti gambar atau lukisan yang terdapat pada dinding-dinding gua karst. Sayangnya , keberadaan karst sangat jarang dilirik apalagi diteliti, dan dimanfaatkan sebagai lokasi wisata alam,” jelas Prof. Aslan.
Vincent, wakil dari Naturevolution dalam pemaparannya menjelaskan bahwa Sulawesi Tenggara khususnya di bagian Utara memiliki sejumlah warisan karst alam yang tak ternilai harganya.
Ada 5 kabupaten di Sulawesi Tenggara yang memiliki bentang alam karst ini, yaitu, Konawe, Konawe Utara, Kolaka Utara, Kolaka Timur dan Kolaka. Terkait potensi karst ini,
“Natureevoluton menginisiasi rencana pengusulan perlindungan kawasan pada 4 kawasan, yaitu kawasan Matarombeo mencakup kabupaten Konawe, dan Konawe Utara) seluas 186.073 hektar, kawasan Tangkelemboke mencakup kabupaten Konawe, Kolaka Utara, Kolaka Timur dan Konawe Utara seluas 145.734 hektar, kawasan Mekongga mencakup Kolaka Utara, Kolaka Timur dan Kolaka seluas 120.016 hektar dan kawasan Sombori mencakup Konawe, Konawe Utara dan Morowali Tengah seluas 120.153 hektar. Total area yang akan diusulkan untuk dilindungi seluas 553.677 hektar,” papar Vincent..
Menurutnya, usulan kawasan lindung ini sejalan dengan komitmen yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia dalam Target Keanekaragaman Hayati Aichi yang merupakan hasil dari Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB – COP 15 pada tahun 2022 dimana Indonesia menargetkan17% dari wilayah nasional untuk masuk dalam kawasan lindung (sekitar 32 juta ha). Saat ini, kawasan lindung Indonesia mencakup 23,19 juta ha, sehingga Indonesia masih membutuhkan sekitar 8,81 juta ha lagi yang harus dikonversi menjadi kawasan lindung. Dengan skenario pengusulan sekitar lebih dari 550.000 ha, Sulawesi Tenggara akan berkontribusi 5,67% dari total kawasan yang massih membutuhkan 8,81 juta ha untuk upaya pencapaian target kawasan lindung nasional ini.
Kawasan Mekongga dan Routa meruapakan Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama di Sulawesi tenggara. Manurut Mustari & Burton (2012), kawasan ini merupakan kawasan yang diidentifikasi sebagai “prioritas tinggi untuk dilindungi untuk Anoa. Hal ini sejalan dengan hasil riset Pusparini dkk tahun 2023 bahwa Mekongga merupakan salah satu kawasan terpenting bagi keanekaragaman hayati di Sulawesi.
Dalam penelitian ditegaskan pentingnya kawasan ini berdasarkan data stok karbon, tutupan hutan menurut ketinggian, ekosistem karst, distribusi spesies yang terancam dan penggunaan dan tutupan lahan. ekosistim yang ada di Sultra perlu dijaga karena memiliki peran strategis yaitu penyimpan karbon dalam jumlah besar, memproduksi air minum/air yang berguna untuk semua pertanian di wilayah tersebut, berperan utama dalam pengendalian banjir, mengatur iklim/iklim mikro, penyaring dan penyangga polusi termasuk melindungi ekosistem laut, tempat penyimpanan dan keanekaragaman hayati dan menjaga keanekaragaman genetic.
Disisi lain, kawasan karst yang di Sultra ini berpotensi penting bagi warisan budaya dan arkeologi kelas dunia. Hal yang menjadi penting dalam melestarikan kawasan ini adalah untuk mencegah kerusakan proyek pertambangan sekaligus juga menjaga masa depan masyarakat di seluruh Tenggara. padahal, selama dekade terakhir, banyak spesies baru telah dideskripsikan di wilayah Mekongga. Beberapa peneliti dan spesialis sepakat bahwa potensi penemuan spesies baru sangat tinggi di daerah Sultra khususnya di pegunungan Tangkelemboke dan Matarombeo.
Potensi tinggi untuk situs arkeologi yang belum diteliti pun banyak di kawasan ini seperti di Karst Matarombeo juga memiliki banyak gua di tepi selatannya, tetapi belum pernah dikunjungi.
“Dari sektor wisata danau, Danau Hiuka merupakan danau unik yang belum diteliti termasuk potensi ikan dan fauna serta floranya. Tantangan ini perlu dijawab bersama antar peneliti untuk mendorong lahirnya kerjasama internasional yang strategis dan berpotensi untuk menemukan species baru di danau tersebut,” terang Vincent.
Dosen jurusan Budidaya Perairan yang turut hadir dalam acara sosialiasi, Dr. Yusnaini turut memberi masukan dalam eskpedisi tersebut seperti perlunya kegiatan ekspedisi diisi juga dengan kegiatan penanaman mangrove sebagai wujud pengabdian internasional yang berdampak pada peningkatan IKU UHO dan FPIK.
Dr. Wa Ode Sifatu dari jurusan Antropologi UHO juga menawarkan kajian dan upaya pemberdayaan masyarakat lokal di kawasan karst. Disisi lain, Dr. Irdam Riani dari jurusan Agribisnis Perikanan turut memberi masukan berupa perlunya kajian sosial ekonomi dan biofarmaka tumbuhan pada ekspedisi tersebut.
Semua usulan mendapat dukungan untuk ditindaklanjuti oleh tim Naturevolution.(rn)