Negara Berhutang pada KOPPERSON, Cermin Buram Penegakan Hukum di Negeri Sendiri
Oleh: Fianus Arung (Ketua DPD Aliansi Wartawan Internasional)

Negara seharusnya malu.
Malu karena telah gagal menegakkan hukum yang dibuatnya sendiri. Malu karena telah berutang secara moral, bahkan yuridis kepada satu entitas hukum bernama KOPPERSON (Koperasi Perikanan dan Perempangan Soananto), yang sejak tahun 1996 menanti tegaknya supremasi hukum atas perintah eksekusi pengadilan yang tak kunjung dilaksanakan.”
KOPPERSON bukanlah entitas baru yang muncul mendadak menuntut hak orang lain. Ia adalah pemegang sah hak hukum berdasarkan putusan inkrah pengadilan sejak tahun 1995. Negara melalui peradilan yang sah telah menyatakan bahwa KOPPERSON adalah pihak yang benar secara hukum.
Namun ironisnya, ketika tiba pada tahap pelaksanaan eksekusi yang seharusnya menjadi puncak dari tegaknya keadilan, negara justru berbalik arah, mengingkari produknya sendiri.
Eksekusi yang dihianati, keadilan yang Ditelantarkan
Dalam sistem hukum Indonesia, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) wajib dilaksanakan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 195 ayat (1) Herziene Indonesisch Reglement (HIR):
“Semua putusan pengadilan negeri yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama”.
Dengan kata lain, sejak tahun 1996, saat perintah eksekusi atas putusan KOPPERSON dikeluarkan, negara terikat kewajiban hukum untuk melaksanakan perintah itu.
Namun apa yang terjadi? Penundaan demi penundaan, alasan demi alasan, dan intervensi demi intervensi membuat perintah eksekusi itu seolah membatu dalam arsip sejarah, mengendap bersama rasa malu institusi hukum yang kian tumpul.
Opini Liar dan Upaya Pembalikan Fakta
Kini, di tengah kegagalan panjang itu, muncul narasi menyesatkan yang mencoba menempatkan KOPPERSON sebagai pihak yang bersalah, seolah-olah berusaha merampas hak warga Tapak Kuda. Padahal, hak itu telah dimenangkan secara sah oleh KOPPERSON sejak hampir tiga dekade lalu.
Ada upaya sistematis untuk menggiring opini publik agar membenci KOPPERSON.
Padahal, yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban adalah negara dan aparatnya, mereka yang tidak menunaikan kewajibannya sebagai pelaksana putusan pengadilan.
“Apakah salah pihak yang menuntut hak sahnya?” Atau justru negara yang bersalah karena mengkhianati kewajibannya menegakkan hukum yang telah diputusnya sendiri?
Ketika Negara Mengangkangi Produk Hukumnya Sendiri
KOPPERSON berhak marah.
Sebab negara melalui aparat penegak hukumnya telah mengangkangi produk hukumnya sendiri. Ironisnya, sebagian penyelenggara negara kini justru bersikap seolah KOPPERSON adalah ancaman, bukan korban.
Inilah wajah paradoks penegakan hukum di Indonesia: yang benar dimusuhi, yang salah dilindungi.
Padahal, Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Namun kemandirian kehakiman tanpa keberanian eksekusi hanyalah keadilan di atas kertas. Dan sejak 1996, keadilan itu telah dibiarkan membusuk dalam berkas perkara KOPPERSON.
Jejak Mafia Agraria di Balik Kisruh Tapak Kuda
Kisruh di Tapak Kuda bukan sekadar konflik agraria biasa. Ini adalah panggung besar permainan mafia tanah dan pejabat korup yang beroperasi di balik meja kekuasaan.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 4 ayat (2) Lebih tegas lagi, tidak boleh ada dua hak yang bertumpuk di atas satu bidang tanah.
Namun di atas lahan HGU milik KOPPERSON, justru terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) baru, tindakan yang jelas melanggar hukum dan asas UUPA.
Menurut pengakuan seorang pejabat yang pernah menjabat di BPN saat itu, sebut saja LM Ruslan Emba, ia menandatangani SHM di atas HGU KOPPERSON karena “terkena jebakan Batman”. Pernyataan ini bukan hanya candaan hitam, tetapi pengakuan nyata atas bobroknya tata kelola pertanahan di tubuh BPN.
Lebih parah lagi, seorang pemilik SHM di lokasi tersebut, dr. Sukirman, yang saat ini menjabat Direktur Utama RS Jantung Oputa Yikoo bahkan dengan enteng menyebut bahwa SHM miliknya terbit tahun 1986, hanya berselang lima tahun dari terbitnya HGU KOPPERSON. Ini bukti telanjang bahwa ada pelanggaran sistematis dan indikasi kuat penyalahgunaan wewenang oleh pejabat BPN.
KPK seharusnya tidak tinggal diam, sebab ini bukan lagi urusan administratif, ini potensi korupsi struktural yang melibatkan kekuasaan.
Lebih ironis lagi, Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi yang seharusnya menjadi penjaga marwah keadilan, justru memberikan komentar yang condong pada penilaian pribadi dan bukan berdasarkan fakta hukum.
Pernyataan-pernyataan mereka mengaburkan substansi perkara dan memperkuat opini publik yang salah arah.
Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang seharusnya menjadi benteng legalitas administrasi pertanahan, tidak mengakui produknya sendiri, surat ukur yang sah dan disahkan oleh pejabat berwenang. Ini tindakan absurd, seolah lembaga negara berupaya membela yang salah untuk menutupi perbuatan kotor dan melanggar hukum yang dilakukan di masa lalu.
Lebih lucu lagi, ada lembaga non-yudikatif yang justru ikut-ikutan “mencari muka” dan memasuki ranah yang bukan bagian dari tugas dan tanggung jawab kelembagaannya.
Langkah ini bukan hanya tidak etis, tapi juga berpotensi menabrak batas kewenangan antar-lembaga negara, yang seharusnya tunduk pada prinsip pemisahan kekuasaan dan pembagian fungsi pemerintahan.
Refleksi untuk Negara dan Rakyat
Seandainya negara konsisten menjalankan hukum pada tahun 1996, maka tidak akan ada kekisruhan, konflik sosial, dan polarisasi opini seperti hari ini.
Negara berhutang kepada KOPPERSON bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk keadilan yang ditunda.
Dan seperti kata filsuf hukum Gustav Radbruch:
“Keadilan yang ditunda terlalu lama sama halnya dengan keadilan yang ditolak”.
Kini saatnya rakyat Kendari dan bangsa ini berpikir jernih. Jika masyarakat cerdas, taat hukum, dan analitis, maka akan terlihat jelas siapa sebenarnya mafia tanah yang merampas hak rakyat dan koperasi yang sah.
Penutup
Negara tidak boleh terus bersembunyi di balik dalih birokrasi. Sudah saatnya Presiden, MA, dan KPK turun tangan memastikan perintah eksekusi terhadap hak KOPPERSON dijalankan. Karena ketika hukum tak lagi ditegakkan, negara telah kehilangan hak moralnya untuk menuntut ketaatan rakyatnya.
KOPPERSON tidak menuntut lebih dari yang sudah menjadi haknya. Yang ia tuntut hanyalah negara menepati janjinya sendiri: menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
“Negara kuat bukan karena banyaknya aparat, tetapi karena tegaknya hukum yang adil”.
Penulis : Fianus Arung



