Dunia Pendidikan Muna Darurat Polusi Adab
Oleh: Laode Abd. Alim R. Ishak (Pendiri Rumah Pintar Muna)

Beberapa waktu lalu, tanpa sengaja melintas di tengah sekelompok siswa tingkat SMU yang sedang asyik bercengkrama di pinggir jalan. Bila hanya berkumpul, itu hal biasa. Tapi ketika melihat jam baru pukul 10 pagi, ini yang tidak biasa. Seharusnya siswa-siswa tersebut masih berada dalam ruang kelas, menerima pelajaran dari guru. Kalaupun waktu istrahat, mereka tidak semestinya berada di luar lingkungan sekolah. Tak lama kemudian, beberapa siswa di antara mereka nampak menghisap sebatang rokok. Lalu, alangkah mengejutkan ketika tiba-tiba seorang siswa meneriaki temannya dengan panggilan “anjing”, yang kemudian di balas dengan sebutan “babi”. Sungguh, pengalaman sekian menit itu memicu tanya : “sudah separah inikah kemerosotan adab dalam dunia pendidikan di Muna?”
Tentu saja, menyimpulkan bahwa dunia pendidikan di Muna sedang dilanda polusi adab dengan hanya berdasarkan pengalaman di atas, terasa tidak adil karena faktanya masih ada beberapa sekolah di Muna yang benar-benar konsen dalam pembangunan karakter baik siswa. Namun setidaknya fenomena tersebut bisa menjadi alarm bagi lembaga-lembaga pendidikan di Muna, agar lebih fokus dalam usaha menanamkan nilai-nilai budi pekerti pada diri setiap siswa. Hal ini patut di perhatikan, mengingat tujuan hakiki pendidikan yang diemban sekolah mulai dari tingkat SD, SMP/sederajat, SMU/sederajat, hingga perguruan tinggi adalah memanusiakan manusia.
Sesungguhnya, di balik tujuan itu terkandung amanah terkhusus bagi para guru, untuk mewujudkan manusia paripurna yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, serta spiritual yang seimbang. Demikian tanggung jawab terberat seorang guru. Tidak cukup berperan meningkatkan nilai ujian di atas kertas, tapi lebih dari itu dituntut mampu menghidupkan rasa empati siswa kepada sesama manusia, membangkitkan kepedulian terhadap lingkungan, serta memperbesar volume iman dan ketakwaan setiap peserta didik kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Andai seorang guru memahami secara baik beratnya beban tanggung jawab tersebut, maka pasti di setiap sujudnya 5 kali sehari semalam selalu terselip do’a bagi siswa-siswanya, semoga kelak mereka menjadi manusia berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Bahkan pada waktu 1/3 malam terakhir sang guru terbangun, bermunajat penuh harap kepada Allah agar di masa depan para siswanya tumbuh sebagai insan beriman, berilmu, dan beramal saleh. Sukses menggenggam dunia, tanpa kehilangan tujuan meraih akhirat dalam lubuk hati.
Namun sayang, di masa kini guru ideal seperti itu seolah jadi makhluk langka. Mayoritas terkesan hanya menganggap mengajar sebatas tugas atau kewajiban yang melekat pada pekerjaannya sebagai seorang guru. Padahal tanpa disadari, pertanggungjawaban guru terhadap siswanya tidak sebatas di dunia, tapi sampai akhirat. Jadi, apabila niat guru cuma ingin memeroleh gaji ataupun sekedar menggugurkan kewajiban demi menjaga sertifikasi, maka amal dunianya pasti dapat sementara akherat penuh tanda tanya.
Namun, tidak cukup hanya guru yang melakukan instropeksi atas fenomena polusi adab dalam dunia pendidikan di Muna. Pihak lain yang lebih bertanggung jawab sesungguhnya adalah pengelola lembaga pendidikan baik negeri ataupun swasta. Berdasarkan pengamatan, nampak indikasi rerata sekolah bahkan perguruan tinggi lebih fokus mengejar jumlah siswa/mahasiswa baru yang mendaftar. Setelah kuota terpenuhi bahkan lebih, pengelola sekolah/kampus seolah terbuai sampai melupakan tanggung jawab pada pembangunan kecerdasan intelektual, emosional, serta spiritual siswa. Entah apa sebabnya? Tapi menurut kabar burung, faktor utama penyebabnya adalah kuantitas siswa yang erat hubungannya dengan jumlah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ataupun sejenisnya yang diterima sekolah. Belum lagi godaan untuk terlibat secara langsung dalam proyek rehab maupun pembangunan gedung baru baik itu ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya. Ringkasnya, ada indikasi fokus mengejar keuntungan materi. Namun, semoga semua itu cuma rumor.
Intinya, belum terlambat untuk menyelamatkan para siswa selaku generasi muda sebagai aset berharga daerah dan bangsa di masa depan. Demi tugas tersebut, kerjasama antara sekolah dan orang tua mutlak dibutuhkan.***