OPINI

Nikel Sultra Terhadap Kesejahteraan Ekonomi


Data Indonesia tahun 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis bahwa Indonesia memiliki tambang Nikel seluas 520.877,07 hektare (ha). Dimana tambang nikel ini setidaknya tersebar di 7 (tujuh) provinsi, salah satunya Sulawesi Tenggara (Sultra).

Di Provinsi ini (Sultra) tercatat luas tambang nikel di angka 198.624,66 ha. Ketersebaran lokasi tambang ini rata-rata berada pada wilayah daratan (non daratan pulau-pulau kecil) provinsi, semisal terbesar di Kabupaten Konawe dan menyusul di Konawe Utara dan Konawe Selatan.

Selanjutnya, terhadap pemetaan tambang nikel yang membawa Indonesia pada posisi me-raja-i produksi nikel pada tahun 2021 tersebut. Betapa tidak, menurut data US Geological Survey (USGS), menyatakan bahwa produksi nikel di Indonesia diperkirakan mencapai 1 (satu) juta metrik ton pada tahun 2021.

Artinya, bahwa Indonesia telah menjadi negara dengan produksi nikel terbesar di dunia. Kenyataan ini mengalahkan beberapa negara, semisal, Filipina, Rusia, Kaledonia Baru, Australia, Kanada, China dan Brazil (baca: data-Indonesia).

Pertanyaanya sekarang, apakah kemudian sumbangsih posisi tawar (bargaining position) negara kita Indonesia di sektor pertambangan, dengan sub sektor tambang nikel, dapat menjadikan Indonesia masuk dalam “kecerahan ekonomi” dan menjadi bangsa yang memiliki kekuatan ekonomi baru, ditengah-tengah lilitan hutang bangsa ini terhadap negara yang cenderung beraliran kapitalistik (Amerika) bahkan komunis (China), ataukah bahkan kekuatan sumber daya (nikel) ini, hanya akan menjadikan negara kita Indonesia dalam posisi tawar “bertahan”..?

Lebih jauh lagi, apakah nikel Sultra yang telah banyak di eksplorasi sedalam ini, dapat memberikan sumbangsih kesejahteraan, baik terhadap daerah, bangsa dan negara ataupun rakyat pribumi..?, Ataukah barulah hanya sekedar menopang harapan menuju sebuah cita-cita luhur pada pasal 33 UUD 1945..?. Disisi lain, mengingat bahwa permintaan nikel dunia diperkirakan akan mencapai mendekati 6 (enam) ribu Metrik Ton pada 2040. Sesingkat ini, mari kita coba mengurainya satu per satu.

Mengingat Kembali Falsafah” Pasal 33 termaktub didalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945, menegaskan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Maknanya bahwa sistem ekonomi yang dikembangkan seharusnya tidak basis persaingan serta atas asas yang sangat individualistik. Sebaliknya, didalam ayat (2) dikatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sementara itu didalam ayat (3) ditegaskan lebih dalam bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Lalu, bagaimana anda dapat benar-benar patuh dengan semua amanat dalam falsafah ini, sebagai seorang yang mau tidak mau akan menerima estafet yang dimulai secara sosial dari sebuah pondasi terbesar pemikiran yang telah disepakati ini?. Terlebih hal ini dari awal disepakati, ditanamkan dan disakralkan sebagai keharusan landasan berpikir, diiringi dengan nilai dan norma yang wajib kita patuhi, apalagi seyogyanya sebagai generasi dari bangsa ini..?.

Secara sadar dan bertanggungjawab, maka sepatutnya dapat ditancapkan kedalam sanubari-jiwa raga, sehingga cita-cita luhur bangsa ini bisa terwujud. Terpenting menjadi sebuah kekuatan bersama didalam wadah ber Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mewujudkan cita-cita kesejahteraan bersama, tentu pula diiringi dengan keyakinan bersama, disertai dengan gotong-royong dalam pembangunan ekonomi bangsa, melalui perwujudan perbaikan ekonomi kerakyatan.

Hal ini salah satunya dapat dijewantahkan dengan lumrah, salah satunya pada pemanfaatan potensi bangsa, semisal nikel Sultra yang wajib menyumbangkan hasilnya secara ekonomi demi kemakmuran rakyat. Optimisme bangsa haruslah ditanamkan dan dimulai dari potensi-potensi yang dimiliki berbagai daerah milik negara ini, Indonesia.

“Skenario” Nikel untuk Kesejahteraan kembali pada posisi tawar Indonesia yang memiliki potensi Nikel terbesar di dunia, bahkan telah diakui oleh bagsa-bangsa lain, semestinya dapat menjadi salah-satu ruang intervensi nyata dalam mewujudkan tujuan akhir bangsa yakni kesejahteraan.

Walaupun, saat ini tantangan yang hadir ditengah kondisi ekonomi bangsa, berada dalam kondisi utang secara pesimistik dengan catatan-utang kita sebesar Rp 7.420 Triliun per 30 September 2022 berdasarkan Data Kementerian Keuangan terakhir (baca: Tempo). Namun demikian, optimistik harus berada pada kondisi pemanfaatan Sumber Daya Alam (salah-satunya Nikel) bisa termanfaatkan menjadi peluang sepanjang masa depan, dalam hal skenario potensi nikel untuk kesejahteraan, dimana ranahnya tentu dapat berada pada sisi target pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals).

Strategi yang pantas diperhitungkan adalah bahwa, kenyataan dimana permintaan bangsa lainnya di dunia terhadap Nikel, diproyeksikan oleh International Energy Agency (IEA) terus meningkat. Disana dikatakan bahwa rancangan kebijakan yang coba dijalankan (stated policies), bahwa permintaan atas nikel diprediksi akan mencapai angka 658,34 Mt pada tahun 2030 dan 4.052,65 pada 2040 (baca: data-Indonesia).

Oleh karena itu, melihat dari pemetaan dunia atau bangsa-bangsa di dunia yang telah berani merilis data ini, maka menjadi pantas bahwa Indonesia sebagai negara dengan potensi Nikel terbesar dapat memainkan perannya terhadap pasar Global. Jika hal ini dapat dilakukan sebagai sebuah kebijakan turunan, didalam kebijakan ekonomi, disertai dengan mekanisme baku, dalam sebuah penjabaran aturan main didalam UU beserta turunannya, maka penulis optimis bahwa bangsa ini berhasil didalam melindungi makna filosofi dari pasal 33 UUD 1945 diatas tadi.

Namun apabila pemerintah gagal dalam menata posisi tawar bangsa, semisal dari kebijakan sektor ESDM (Nikel, dan lain sebagainya), maka justru dapat dikatakan telah membuka wacana publik_bahkan sekiranya menimbulkan perihal yang kontra-produktif terhadap cita-cita sendiri.

Megara wajib menghidupkan langkah-langkah berani, sebagai wujud strateginya dalam melayani kepentingan negara dan publik. Sebaiknya potensi SDA Nikel Sultra dan daerah lainnya, dapat diperlihatkan menjadi sebagai salah satu kekuatan mewujudkan kekuatan ekonomi bangsa. Bahkan mestinya dapat diskenario sebagai salah satu sumber kesejahteraan bagi rakyat.

Penguatan izin tambang dapat dikecualikan pula, antara pengusaha pribumi dan pengusaha asing dan/ataupun “aseng”, sehingga wujud keberpihakan bangsa ini terhadap ekonomi rakyat secara menyeluruh, utuh dan berkeadilan pada “diri sendiri”, bukan justru sebaliknya, memberi kesan bahwa segala potensi yang dimiliki bangsa baru terlihat selalunya “mengenyangkan perut” pengusaha (investor) “asing dan /atau aseng”.

Tentu bangsa kita Indonesia berhak mengatur segalanya didalam pribumi sendiri. Kekayaan SDA apapun mestinya dibarengi dengan keadilan, kemandirian bahkan sewaktu nanti dapat menancapkan pondasi awal menuju kepada “Kedaulatan Ekonomi Bangsa” diantara bangsa lainnya di dunia. Betapa mirisnya, apabila bangsa ini dengan sejuta kekayaan SDA-nya, namun masih berada didalam himpitan utang di negara-negara beraliran “kapitalisme” bahkan “komunisme”.

Sepatutnya kita dapat bangkit, berkembang dan maju disuatu massa-nya, dengan memulai keberanian pada pengelolaan sumber daya secara sedikit tegas. Peraturan yang ketat dan tanpa adanya “desakan” pihak luar, apalagi intervensi, semestinya sudah saatnya terwujudkan, Demi kemanusiaan dan keadilan. Semoga..!.

Penulis: Iwan Faisal (Mahasiswa Pasca Sarjana Administrasi Publik – UHO, saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris MD KAHMI Kabupaten Muna).

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Close