NASIONAL

WALHI NTT Jadi Delegasi COP 26 KTT Perubahan Iklim, Ungkap Dampak Nyata Krisis Iklim pada Pulau-Pulau Kecil


NTT, OborSejahtera.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai organisasi advokasi lingkungan di NTT diberikan mandat untuk mewakili WALHI se Indonesia dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia.

Dalam forum yang berlangsung sejak tanggal 1 – 12 November 2021 ini, WALHI NTT menjadi salah satu delegasi pemantau Conference Of Parties (COP) 26, serta diberi kesempatan menyuarakan krisis iklim yang terjadi di Indonesia khususnya di NTT.

Sebagai organisasi masyarakat sipil lingkungan terbesar di Indonesia, WALHI juga terlibat untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dan lingkungan dalam aksi besar di Glasgow. Aksi besar tersebut dilakukan pada 5 November 2021 yang diikuti lebih dari 100 ribu orang yang berasal dari masyarakat sipil dari ratusan negara.

Beberapa pernyataan sikap WALHI Nusa Tenggara Timur dalam Forum COP 26 di Glasgow meliputi dua aspek yakni, pulau-pulau Kecil dan Ddmpak nyata krisis iklim serta beban berat tambahan pulau-pulau kecil.

Pada aspek pertama, disampaikan bahwa pulau-pulau kecil dan rakyat yang hidup diatasnya seringkali diabaikan dalam percakapan diruang publik mengenai krisis iklim.

“Seringkali perdebatan mengenai krisis iklim berkutat soal komitmen penurunan emisi dan hitungan matematis soal karbon tanpa aksi nyata. Meskipun pada kenyataannya dampak dari krisis iklim sudah dialami oleh komunitas digaris depan dengan semakin sering terjadinya bencana dan kerusakan harta benda serta mata pencaharian bagi komunitas tersebut. Tidak hanya itu, krisis iklim telah menyebabkan hilangnya hak untuk hidup dan memperoleh penghidupan bagi komunitas yang terdampak,” ujar Direktur Eksekutif WALHI NTT sekaigus Observer Delegation COP 26, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi melalui rilisnya yang diterima redaksi, Jumat (12/11/2021).

Ia juga mengatakan, Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau merasakan dampak dari perubahan iklim. Krisis iklim kian brutal menghantam peradaban manusia dan keaneka ragaman hayati di banyak pulau di Indonesia. Diyakini, ini akan terus meningkat kedepannya, contohnya Nusa Tenggara Timur, sebuah provinsi di selatan Indonesia yang merupakan tempatnya dan lebih dari 5 juta orang tinggal.

“Nusa Tenggara Timur terdiri dari 566 pulau. Luas daratannya 47.932 km persegi dan luas perairannya 200.000 km persegi. Provinsi NTT dalam 10 tahun terakhir mengalami berbagai kekeringan berkepanjangan, bahkan kebakaran lahan dan hutan pada 2019 menjadi yang terluas di Indonesia. Dampaknya meluas, gagal tanam, gagal panen, krisis air, stunting hingga kemiskinan,” terangnya.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Nusa Tenggara Timur setiap tahun selalu memperingatkan potensi bencana akibat cuaca yang buruk, baik di daratan maupun di perairan. Salah satu bencana yang paling buruk terjadi pada April 2020. Nusa Tenggara Timur dilanda bencana badai siklon tropis varian baru yakni Siklon Tropis Seroja.

“Akibat hantaman Siklon Tropis Seroja, 182 orang meninggal dunia di beberapa pulau, ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal dan mengungsi. Nilai kerusakan infrastruktur pribadi hingga publik mencapai triliunan rupiah. Jika dihitung dampak bencana terhadap kerusakan daya dukung, daya tampung lingkungan dan keanekaragaman hayati bahkan bahkan lebih besarlagi. Siapa yang harusnya membayar atas kehilangan yang tidak dapat dipulihkan dan kerusakan ini? Tentu saja para Poluters itu! Mereka yang mengeruk keuntungan dari ekstraksi sumberdaya alam dan energi fosil,” ungkapnya.

“Krisis iklim memberikan pesan akan hilangnya eksistensi bagi orang yang hidup di pulau-pulau kecil. Kenaikan permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan sebagian hingga seluruh daratan pulau kecil, hal ini sudah kami rasakan. Masyarakat di Pulau Halura, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur merasakan berkurangnya wilayah daratan mereka sedikit demi sedikit,” tambahnya.

Pengakuan masyarakat terkonfirmasi juga dari data coastal.climatecentral.org. Berdasarkan data tersebut, seperdelapan dari pulau yang saat ini seluas 29 km persegi akan tenggelam di 2050. Kondisi yang sama juga kami dapatkan dari pengakuan masyarakat di berbagai pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur.

Aspek kedua disampaikan bahwa pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur tidak hanya menanggung beban ancaman dan dampak krisis iklim. Ancaman yang akan dan sudah berjalan yakni pembangunan infrastruktur skala besar oleh pemerintah maupun pihak swasta. Pembangunan tersebut sering abai pada daya dukung dan daya tampung pulau serta tidak berkeadilan.

Sebagai contoh, saat ini rencana pembangunan industri pariwisata di Kawasan Taman Nasional Komodo. Industri ini akan berpotensi menghancurkan ekosistem Komodo dan Masyarakat adat didalamnya. Komodo dan ekosistemnya yang merupakan bagian dari situs warisan dunia menghadapi ancaman nyata.

“Pembangunan infrastruktur skala besar dan pemberian konsesi pariwisata dengan skala lahan yang luas jelas telah mengabaikan prinsip-prinsip konservasi berbasis masyarakat. Rencana pemerintah untuk merelokasi masyarakat Pulau Komodo pada 2019 juga telah mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Porro Duka, seorang petani yang ditembak mati karena menentang upaya investor pariwisata mengambil paksa tanah sukunya di Sumba Barat juga jadi penanda bahwa nilai keadilan dan kemanusiaan hilang dalam derap pembangunan infrastruktur atas nama industri pariwisata,” ucap Umbu Wulang.

Selain industri pariwisata, Nusa Tenggara Timur juga sudah dibebani lagi dengan investasi pertambangan dan perkebunan monokultur skala besar di berbagai pulau. Aktivitas pertambangan dalam sejarah Nusa Tenggara Timur telah banyak menimbulkan kerusakan sosial ekologis. Kerusakan tersebut tidak pernah diupayakan untuk dipulihkan oleh para pemilik tambang. Dampak dari kerusakan tersebut ditanggung sendiri oleh masyarakat lokal.

WALHI NTT selama ini bekerja dalam nilai keadilan ekologis bersama masyarakat untuk mengurangi laju pengrusakan bahkan penghancuran ekologi. Kampanye-kampanye dilakukan untuk mendistribusikan pengetahuan tentang pentingnya pelestarian alam dan peradaban kebudayaan lokal di NTT. WALHI NTT juga melakukan dialog dengan pemerintah agar melakukan pembangunan yang ramah lingkungan. WALHI NTT juga meminta pemerintah menghormati hak dan kedaulatan warga dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pembangunan.

“Kami selama ini bekerja bersama komunitas masyarakat petani, masyarakat nelayan yang umumnya didominasi oleh masyarakat adat. Kami beraktivitas dalam kerja advokasi maupun konservasi pemulihan alam. Kami akan terus bekerja bersama dengan masyarakat yang dalam kekuatirannya yang mendalam tetap berupaya untuk memastikan keselamatan hidup dan ruang penghidupannya,” ucapnya.

“Kami percaya bahwa di forum ini terbentang luas nilai kepedulian dan keadilan. Bahwa keterhubungan kemanusiaan dan ketergantungan pada alam tidak bisa dihalangi karena perbedaan negara, agama, ras maupun suku. Kita terhubung untuk memastikan keselamatan alam dan kemanusiaan kita. Kami percaya, jika saat ini, keselamatan rakyat Indonesia dan pulau-pulaunya terancam bencana akibat krisis iklim, tinggal menunggu waktu saja bagi keluarga dan negara anda,” tandasnya.

“Adat saya meyakini alam semesta ini adalah mahkota mulia di kepala kita. Adalah kewajiban kita untuk menjaga dan merawatnya. Untuk apa? Agar tidak dibawa terbang jauh dan hilang oleh krisis iklim. Agar mahkota mulia ini dapat diwariskan kepada anak cucu kita tidak dengan kepala tertunduk dan tangis penyesalan. Salam Adil dan Lestari,” tutupnya.(*ema)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Close