Sengkarut Kata “Intoleran” Pemprov Jawa Barat Versus Setara Instite
Oleh : HASBULLAH FUDAIL, Kabid HAM Kemenkumham Prov. Jawa Barat
Jabar, OborSejahtera.com – Berita viralnya provinsi Jawa Barat sebagai provinsi yang “paling intoleran” di Indonesia disertai kota Depok (kota di Jawa Barat) sebagai kota yang “paling intoleran” hasil survey Setara Institute pada 30 Maret 2022, seakan menjungkir balikkan akal sehat para pengambil kebijakan di Gedung Sate dan kota Depok serta orang-orang yang menikmati kehidupan langsung di Jawa Barat, seperti saya yang hampir 12 (duabelas) tahun tinggal di Bandung.
Betapa tidak terhentak? disaat kehidupan berlangsung harmoni di masyarakat Pasundan selama ini, ditandai dengan berbagai akulturasi masuknya berbagai suku bangsa dan budaya berbaur menjadi satu tanpa sekat dan konflik yang berarti seperti provinsi lainnya. Akibat adanya riles dari NGO Setara Institute tersebut, pemerintah Jawa Barat dan kota Depok seakan telah lalai dalam membangun budaya toleransi di masyarakat Jawa Barat khususnya kota Depok.
Menurut Syera Anggreini Buntara (Peneliti Setara Institute), sejak Setara Institute menerbitkan laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) pada tahun 2007, Jawa Barat adalah provinsi yang konsisten, teratas dengan pelanggaran terbanyak hingga sekarang (sudah 14 tahun). Setara Insitute menyebut pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tertinggi di Jawa Barat, salah satu faktornya adalah tingginya politik identitas di Bumi Pasundan itu.
Sementara kota Depok menjadi kota paling intoleran di Indonesia versi Setara Institute, berada di urutan ke-93 dari 93 kota di Indonesia dalam penilaian Indeks Kota Toleran (IKT) 2021 dengan problem utama di Depok meliputi dua hal yakni, pertama adanya produk-produk hukum yang diskriminatif, existing, dan efektif dijalankan pemerintah.
Kedua, Walikota Depok pernah menginstruksikan penutupan Masjid Al Hidayah, yang disebut sebagai tempat ibadah Ahmadiyah, pada Oktober 2021. Selain itu, warna religius di kota Depok sangat didominasi oleh Islam, ujar Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, pada Rabu 30 Maret 2022.
Bantahan atas survei Setara Institute, Wakil Gubernur Jawa Barat UuRuzhanul Ulum menyanggah temuan Setara Institute tersebut sebagai daerah dengan jumlah pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) terbanyak di Indonesia, yakni sebesar 40 peristiwa sepanjang 2021 dinilai hasil riset Setara Institute itu tidak sesuai dengan survei yang dilakukan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jabar, yang menyatakan KBB di Jabar menempati peringkat terbaik ke-6 di Indonesia.
“Kalau ada yang bilang Jawa Barat ini intoleran, itu tidak benar. Kita sudah kroscek ke Bakesbangpol, hasilnya Jabar menempati peringkat 6 sebagai daerah dengan KBB terbaik. Tidak benar jika Jabar disebut intoleran,” kata Uu saat dihubungi, Kamis (10/2/2022).
Sementara Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jawa Barat, Iip Hidayat mengatakan, belum tentu sikap intoleran terjadi di 27 kabupaten/kota di Jabar. Disinggung terkait bentuk intoleran, Iip mencontohkan adanya kasus pembangunan rumah ibadah yang tak jadi, karena diisukan ada penolakan dari masyarakat sekitar padahal belum memiliki IMB, tapi dikesankan seolah-olah ada penolakan dari masyarakat.
Kasus seperti ini dianggap termasuk intoleran. Selain itu jumlah penduduk yang besar, sebab 20 persen penduduk nasional ada di Jawa Barat. Sehingga, dinamika dan fenomena yang terjadi di Jawa Barat akan berbeda dengan provinsi maupun daerah lainnya. Sangat tidak adil jika yang dihitung hanya pelanggaran KBB, namun tidak menghitung penghargaan masyarakat terhadap KBB. Jika pun terjadi pelanggaran KBB, jumlahnya akan jauh lebih kecil dari pada masyarakat yang selama ini menjaga KBB.
Untuk pembanding, hasil survei Indonesian Politics Research & Consulting (IPRC) menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Barat sangat toleran dan bisa hidup berdampingan dengan siapapun. Hal ini terkuak usai review survei mengenai “Toleransi dan Radikalisme di Jawa Barat: Ekspos Survei di 9 Kabupaten/Kota se-Jabar”, di Bandung, Rabu (9/6/2021).
“Hasil survei kami jelas-jelas berbeda jauh dengan hasil survei lembaga lain yang mengatakan bahwa di Jabar merupakan daerah paling tinggi soal intoleransi atau sikap pelarangan terhadap berkeyakinan, berkeagamaan dan lainnya,” ungkap Direktur Operasional dan Data Strategis IPRC, Idil Akbar.
Adanya sikap mau berteman, mau bersahabat, mau bermusyawarah, jual belidan dialog dengan pemeluk agama lainnya. Hasil lainnya, seperti urusan pendirian rumah ibadah, menunjukkan masyarakat di Jawa Barat sangat toleran. Termasuk urusan memilih kepala daerah yang berlainan agama atau membantu memberikan dana untuk pendirian tempat ibadah agama lain.
“Setidaknya ada dua yang paling kami anggap penting, yaitu masyarakat Jawa Barat itu memiliki sikap toleran sangat tinggi dalam konteks hubungan dan interaksi sosial antar penganut agama. Keduaya itu hal-hal yang menyangkut radikalisme,” demikian Idil.
Sengkarut Kata Intoleran
Intoleran kata dasarnya “toleran” artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dansebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (KBBI). Sementara intoleran tidak tenggang rasa; tidak toleran jika berbunyi intoleransi berarti ketiadaan tenggang rasa. Pengertian Intoleran beragama adalah suatu kondisi jika suatu kelompok (misalnya masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama) secara spesifik menolak untuk menoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandaskan agama.
Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa latin, ‘tolerare’ yang artinya sabar dan menahan diri. Sedangkan secara terminologi, toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antar sesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri.
Toleransi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tasamuh. Secara bahasa toleransi berarti tenggang rasa. Secara istilah, toleransi adalah sikap menghargai dan menghormati perbedaan antar sesama manusia. Allah SWT menciptakan manusia berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut bisa menjadi kekuatan jika dipandang secara positif. Sebaliknya, perbedaan bisa memicu konflik jika dipandang secara negatif.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Toleransi adalah sikap manusia untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan, baik antar individu maupun kelompok. Untuk menghadirkan perdamaian dalam keberagaman, perlu menerapkan sikap toleransi.
Dengan terjadinya perbedaan cara pandang melihat kata “intoleran” antara Setara Institute dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tergantung disisi mana fokusnya. Maka kata intoleran akan menjadi sengkarut. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sengkarut dimaknai sebagai banyak seluk beluknya, kait mengait, tidak menentu, tidak keruan. Sehingga kata intoleran tidak akan pernah menemukan persepsi yang sama alias “sengkarut”.
Ibarat kata, orang bijak antara “pahlawan” dan “pemberontak” tergantung siapa yang menafsirkannya. Kasus Xanana Gusmao adalah seorang “pahlawan” dimata rakyat Timor Timur, sementara dia seorang “pemberontak” dimata pemerintah Republik Indonesia, makanya pernah dihukum di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
Menjadi catatan penting untuk menemukan ruang dialog antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kota Depok dengan Setara Institute termasuk dengan Kementarian Hukum dan HAM.
Seperti diketahui Kementerian Hukum dan HAM memberi penghargaan Kabupaten Kota Peduli Hak Asasi Manusia (KPP HAM) kepada kabupaten dan kota setiap tahun atas kinerjanya dalam melakukan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan HAM.
Bisa jadi suatu kota mendapat penghargaan Kabupaten Kota Peduli HAM, tetapi dalam waktu bersamaan di cap tergolong kota Intoleran. Padahal kota yang mendapatkan penghargaan KPP HAM sudah melaksanakan berbagai indikator yang lebih banyak dari pada kota Intoleran.
Survey Setara Institute menggunakan 4 (empat) variabel dengan 8 (delapan) indikator, antara lain Rencana Pembangunan, Kebijakan Diskriminatif, Peristiwa Intoleransi, Dinamika Masyarakat Sipil, Pernyataan Publik Pemerintah Kota, Tindakan Nyata Pemerintah Kota, Heterogenitas agama, dan Inklusi Sosial Keagamaan.
Sementara indikator Kabupaten Kota Peduli Ham melalui Permenkumham Nomor 22 Tahun 2021 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli HAM yang menjadi acuan dengan jumlah kriteria menjadi 10 kriteria hak dan 120 indikator yang meliputi pemenuhan hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya serta hak perempuan dan anak.
Semoga pihak-pihak yang berkepentingan dapat duduk bersama untuk merumuskan permasalahan HAM yang dihadapi bersama, sehingga program kerja yang dilakukan bisa menjawab permasalahan yang ada, amin.(*rn)